Cerpen ini sungguh Apu’ rekomendasikan untuk dibaca oleh para penulis pemula (seperti apu hehehe) dan calon penulis atau siapapun yang mempunyai cita-cita berdakwah melalui pena.
Sungguh lantunan kesyukuran saya getarkan, manakala diberi kesempatan untuk menatapi untaian-untaian huruf yang terpintal oleh benang-benang kecerdikan plus kecerdasan penulisnya dalam meramu cerpen hebat ini. Meskipun terbatasi oleh sempitnya ruang untuk berkreasi (batasan halaman) tapi tidak mengurangi ide-ide dan muatan-muatan dakwah dalam cerpen ini.
Sesungguhnya ada asa membiru haru tatkala kubaca paragraf ketiga dalam cerpen ini. Bagaimana jiwaku ikut merasa tersentuhi dan larut mengalir dari curhat spesial sang penulisnya. Bacalah bait indah yang apu kutip ini…
”Aku tak mungkin berhenti menulis, yang sudah menjadi bagian dalam hidupku. Walaupun karya yang aku hasilkan tidak membawa keuntungan secara materi, tapi ada kebanggaan di hatiku. Itu karena tujuanku menulis adalah berdakwah lewat pena.”
Mari kita urai dari kalimat (Aku tak mungkin berhenti menulis)
Sungguh, apu bisa merasakan bagaimana sebuah tekad membulat nan begitu kokoh dipancang dan diperjuangkan oleh sang penuturnya.
Ya…kadang dari lubuk hati kecil kita, ada niat dan tekad untuk menjadi penulis (afwan, ini bagi yang punya keinginan untuk menjadi penulis loh). Tapi niat saja tak cukup, ia harus diperjuangkan, meski halangan akan bermacam-macam. Seperti :
- Masa depan yang suram jika jadi penulis
- Halangan dari orang tua
- Tak punya waktu (alasan klasik hihihi) dll.
Ketika tekad sudah membaja, insyaallah tinggal direalisasikan di ranah nyata. Maksudnya, kalau kamu ingin jadi penulis, ya kamu harus nulis, entah itu nulis cerpen, artikel, novel dan puisi.
Jika tekad ada, tapi tidak dibarengi langkah nyata, maka keinginanmu itu hanyalah ibarat pelangi yang memuncul di malam hari (mungkin nggak, sih!! He-he-he)
Ok. Kita lanjutin di kalimat (Yang sudah menjadi bagian hidupku).
Ketika membaca kalimat ini, aku sungguh tertegun dan terpesona! Kalimatnya pendek tapi tersimpan berjuta makna dari pitutur katanya. Yang Apu bisa tangkap dari kalimat ini adalah TOTALITAS. Ya! Keberanian untuk mengambil sebuah keputusan besar yakni menjadi penulis. Ada konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dihadapi ketika pilihan inilah yang kita ambil.
Bukankah hidup juga penuh dengan pilihan-pilihan sahabat?
Antum antunna yang lebih bisa menjawabnya bukan!? Begitu jugak Apu, sebagai misal, dulu apu punya dua pilihan antara kuliah di Yogya yang swasta atau kuliah di PTN tapi di Bali? Akhirnya kota Gudeg ’lah pemberhentian akhirnya (hihihi narsis banget!) dan tentu saja masih banyak lagi pilihan2 yang lain.
Lanjut… pada kalimat (Walaupun karya yang aku hasilkan tidak membawa keuntungan secara materi, tapi ada kebanggaan di hatiku.)
Sungguh ada pancaran cahaya hikmah dalam kalimat ini yang bisa aku kunyahi kelezatan katanya. Yakni, adanya keqana’ahan diri sang petuturnya. Dia mengungkapkan, bagaimana cara menikmati puncak kesuksesan sebagai penulis. Apa, tuh? Ya, saat lantunan alhamdulillah nan bergetar dari kedua bibir sang penulis tatkala dia bisa menyelesaikan karyanya entah itu puisi, cerpen, novel dan bukunya. Itulah gunung ektase dan panorama eksotisme yang tak bisa dinilai dengan materi seberapa pun itu.
Jika engkau belum menetaskan sebuah karya, boleh apu mengilustrasikan suasana keindahan ini? Yah..seperti saat engkau lulus UAN, lulus ujian pendadaran nan menguras air mata dan berakhirnya skripsi yang tak kelar-kelar atau….nahhh saat-saat mendebarkan di wisudamu. Rona-rona ceria menghiasi seraut wajahmu nan melembut, kan!? Saat kamu ucapkan lantunan alhamdulillah..alhamdulillah. Itulah, kebahagiaan yang sama juga dinikmati saat seorang penulis menuntaskan karyanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar